Sebuah Mimpi dalam Cahaya

Ibu berkata bahwa proses masaknya akan lama, namun aku hanya mengedikkan bahu saja. Aku bosan. Pikirku kembali melayang pada novel yang semalam aku baca. Aku mendapatkannya kemarin lusa di perpustakaan sekolah. Meski dari halaman pertama buku itu ganjal, namun aku tetap memaksa membacanya sampai benar-benar tamat. Ceritanya menarik, tentang dunia peri. Sejak aku menginjak bangku sekolah dasar kemarin, banyak sekali buku yang kubaca dengan iming-iming cerita peri. Pun dengan tontonanku Barbie banyak yang menjadi peri. Hal itu sempat membuat aku bertanya-tanya, apakah sebenarnya dunia peri ada? Pasalnya, hampir semua buku serta tontonan anak-anak menyajikan tokoh peri sebagai pemeran utama. Aku pernah bertanya ketika menginjak kelas lima, pada guruku yang dulu mengajar seni rupa. 

“Bu, apakah peri itu makhluk nyata?” Aku tidak menuai jawaban, aku kepalang bimbang. Maka kutanya guru IPA, sebab barangkali mereka lebih mengetahui terkait ekosistem peradaban hewani. Manusia tidak bisa terbang, maka peri adalah binatang. Tapi guru itu tidak menjawab pertanyaanku. Ia malah memerintahkan aku untuk mengurangi konsumsi fiksional. Namun aku masih penasaran, jika peri adalah bentuk tidak nyata, lalu bagaimana pencipta buku dongeng serta pemilik alur Tinkerbell bisa tahu bentuk peri? 

“Adek! Ayo main yuk!” Kakak berteriak dari luar rumah. Karena aku juga sedang merasa bosan maka aku melangkahkan kaki-kaki kecilku keluar teras rumah. Kakak di sana, di rumah salah satu tetangga. Melambaikan jemarinya seolah memang menuntut aku untuk pergi bersamanya. Aku tidak keberatan, lagi pula kapan lagi bisa bermain dengan tetangga depan. 

Kakiku yang kecil sekali lagi mengikuti arah langkah kakak yang begitu tergesa, entah apa yang ingin digapainya aku sampai kewalahan berkala. 

“Di sini indah, Dek. Senjanya kelihatan!” ujar Kakak. Aku melihatnya, lantas aku hanya tersenyum lantaran yang diucapkan sang kakak benar adanya. 

Aku maju satu langkah, tujuannya agar mencapai titik di mana kakak berpijak. Namun belum sampai langkahku, aku menemukan sebuah sumur yang berada tepat di samping kananku. Rasa penasaranku begitu kuat, sebab sumur itu tidak ditadangi apa-apa. 

“Adek sini! Jangan ke situ, bahaya.” Kakak berujar lagi. Dasarnya memang rasa penasaranku lebih tinggi daripada sekadar khawatir maka aku abaikan teriak kakak dan mencoba mendekati bibir sumur. Aku mendapati sesuatu di dalam sana, kilau bercahaya putih warnanya. Aku tidak pernah melihat itu, bahkan dalam tayangan kartun yang biasa aku tonton setiap malam. Itu apa? Bukankah sumur isinya air, lalu itu yang putih apa? Aku memajukan lenganku untuk menggapai putih itu, yang aku dengar kakak berteriak semakin lantang. Namun aku masih berusaha menggapainya. Tiada sampai hitungan menit aku mendapatkan putih itu lalu aku tidak mengingat apapun lagi karena mataku terpejam kaku. 

****

Aku merasa seperti ada angin menerpa. Mataku masih terkatup, rasa kantuk mulai luntur. Biasanya ibu akan memarahiku ketika aku bermalasan untuk bangun dari tidur. Mengingat itu segera aku sadarkan diri. Sungguh, ibu marah adalah hal yang paling tidak aku suka. Sebab ia akan mengungkitnya dimanapun berada. Mimpi buruk. 

Tetapi tunggu, di mana aku?

Tidak ada teriak kakak. Tidak ada lagi suara ayam yang berkelakar. Ini di mana? Semua oposisi ruangan serba putih. Pun mengapa kunang-kunang mengelilingi aku? 

Tidak. 

Aku tidak mati kan? 

Seingatku terakhir aku bermain di sumur. Lalu aku meraih cahaya putih. Kemudian apakah aku sudah tidak lagi bernyawa? Aku di surga? 

“Ratu Alisha! Dia sudah bangun.” Sebuah suara menyita perhatian aku. Siapa ratu? Cahaya kunang-kunang itu semakin banyak. Mengelilingi aku yang aku rasa mataku akan bertambah minus sebab cahaya yang mereka hasilkan begitu mencolok di mataku. Lupakan kunang-kunang, tapi sebenarnya dimana aku berpijak sekarang? 

“Dari mana kau berasal anak manis?” Arah suaranya berasal dari cahaya yang paling terang. Aku menyipitkan mataku. “Aku? Sebentar, kalian semua siapa? Mengapa aku bisa di sini?” tanyaku bingung. Tubuhku yang kecil diapit sepertinya ribuan cahaya. Selanjutnya aku melihat mereka berpendar, berpisah pancar dan menyisihkan satu cahaya paling terang. 

“Seharusnya kami yang bertanya, dari mana asalmu?” Aku menangkap itu, suara berasal dari cahaya seterang kejora. Namun aku masih tidak bisa menyikapi, dengan apakah aku menyebut nama dan asalku? Karena aku yakin mereka semua tidak mengetahui apa itu bumi. Setelah berseteru dengan konstitusi logika dalam otak kecilku, aku menangkap apa jawaban yang paling tepat. “Aku tersesat, bisakah kalian memulangkan aku kembali? Aku ingat aku terjatuh dari kedalaman sumur,” jawabku. 

Dalam cahaya itu seperti bimbang, warnanya semakin pudar sehingga aku dapat melihat mereka. Ah-

Peri? 

Secara wujud mereka mirip sekali dengan Tinkerbell, aku ingat sekali. Jadi apakah ini nyata? Peri-peri itu bukan khayalan semata? 

“Sepertinya dia masuk wilayah Diamond Settle ini lewat jalan terlarang itu, Ratu. Hanya itu akses kita untuk menuju wilayah lain. Tetapi yang seperti Ratu tahu, rongga portal itu dilarang digunakan lagi,” ujar seorang peri yang berbusana biru muda. Aku hanya memandang mereka dengan seksama. Sedikit tidak paham namun aku tetap diam dari baringku di kasur super kecil ini. Beruntung tubuhku tidak besar, tidak bisa aku bayangkan jika tubuhku lebih dari kasur ini. Pasti aku sudah memakai koyo yang sering dipakai ibu. Hi … menyeramkan.

“Mungkin kalian bisa memulangkan aku dengan portal itu,” selorohku tiba-tiba ketika melihat ke arah kiri. Di sana ada kebun bunga, dan sebuah kolam penuh seroja. Tetapi lagi-lagi cahaya itu, aku mengingat cahaya putih yang membuatku berada di sini. Ku edarkan pandangan mataku kepada seluruh peri yang di sana, mereka semua berpandangan dalam diam. Termasuk seorang peri yang mereka sebut sebagai ratu itu. 

“Kami tidak bisa,” jawab ratu itu dengan menunduk. 

“Kenapa tidak bisa? Lalu aku bagaimana?” tanyaku kemudian. 

“Untuk sementara kamu di sini dulu, hari sudah petang. Esok hari akan saya tanyakan pada hakim untuk bagaimana keputusannya,” putus ratu. Aku mengangkat alis, lalu bagaimana jika ibu dan kakak mencariku? Bagaimana sekolahku? Lalu bagaimana dengan ayah yang selalu mencariku. Aku takut ibu dan kakak mencariku. Tetapi aku tidak punya pilihan, aku hanya mengangguk pada akhirnya.

“Tidurlah. Kami berada di pendopo depan. Berteriak juga membutuhkan bantuan,” ujar peri berwarna hijau. Lagi-lagi aku mengangguk. 

Aku melihat mereka telah bubar, berpencar menghasilkan cahaya yang begitu tertular. Kini hanya aku sendiri yang berada di bilik sunyi, tiada suara jangkrik yang biasa aku dengar malam hari. Tidak ada pula suara ayah yang kerap kali menonton bola ketika malam berganti. Lama-lama aku ketakutan. Aku takut nantinya tidak bisa pulang lagi. Tidak. Aku harus pulang bagaimanapun caranya. Kehidupan peri tidak menyeramkan namun aku sama sekali tidak menginginkan. Membayangkannya saja aku sudah takut bukan kepalang. 

Aku turun dari ranjang menuju ke arah cahaya putih itu yang seakan mengejekku karena pengeut. Aku mengendap-endap barangkali terjebak dan ketahuan, aku tidak ingin gegabah. Sama sekali tidak. Semakin dekat cahaya putih itu semakin terang. Aku selayaknya ditarik begitu dalam. Ini portal terlarang, kata mereka namun selama aku mendekat aku tidak mengalami ancaman. Kurasa begitu untuk sekarang. Sebelum akhirnya aku merasakan bahwa badan kecilku tertarik begitu kuat. Sakit sekali. Inikah maksudnya dilarang? Karena yang aku rasakan seperti badanku tergerus arus. 

“Adek! Akhirnya kamu bangun, kamu tidur dari sore kemarin sampai sore lagi, ibu panik. 

Suara ibu, dia memelukku begitu erat sampai rasanya begitu sesak. Dan apa? Tidur? Jadi, yang aku alami tadi hanya ilusi dalam mimpi saja?

“Jadi nggak ada dunia peri ya, Bu?” tanyaku. Aku lihat ibu melotot ke arahku sebelum mencubitku, “Bangun tidur ngawur aja kamu. Mandi sana!” 

Mimpi ya …

Tetapi mengapa rasanya begitu nyata?


karya: Ogista Shofwatul Maula


0 Comments