Mr._Amsterdam 224

“Dadaaa”, itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ardhiona sebelum sahabatnya, Hubert pergi menghilang meninggalkan Ardhiona. Berkali - kali ia mengirim surat kepada sahabatnya itu, namun tetap saja tidak ada jawaban darinya. Sejak saat itu, Ardhiona tak pernah melihat Hubert lagi, entah kemana Hubert pergi, hal yang paling diingat oleh Ardhiona sebelum Hubert pergi meninggalkannya adalah sekuncup Tulip Biru yang diberikan Hubert kepada Ardhiona. Ardhiona Ayu Kirana, itulah nama lengkapnya. Ia merupakan seorang gadis keturunan Jawa yang cantik dan polos. Ia memiliki rambut pendek yang hitam mengkilap, mata yang lebar, dan bibir yang tipis. Ardhiona menghabiskan masa kecilnya bersama sahabat londhonya itu. Hubert Van Holland, adalah sahabat Ardhiona sejak kecil,ia merupakan seorang laki - laki berambut pirang keturunan Belanda. Namun, persahabatan mereka tak direstui oleh orang tua Ardhiona, ibu dan bapaknya pernah berkata “Londho itu kejam dengan bangsa kita, Nduk”. Walaupun begitu, Ardhiona percaya bahwa tidak semua londho itu kejam. “Londho iku tidak semuanya kejam.”.

Sudah 6 tahun lamanya setelah Hubert pergi tanpa kabar meninggalkan Ardhiona. Kini, ia sudah lulus SMA dan menerima beasiswa untuk kuliah di Amsterdam. Ya, negara yang paling Ardhiona ingin kunjungi. Ia mengambil jurusan Seni. Dirinya tak menyangka bahwa dirinya biasa sampai ke titik ini. Tepat di tanggal ulang tahunnya, yaitu 1 April 2005 ia berangkat ke Amsterdam diantar oleh kedua orang tuanya dan kakaknya, Adiningrum. “Hati - hati ya, Nduk. Ibu dan Bapak bangga, Ardhiona bisa kuliah hingga ke negeri orang. Ibu dan Bapak akan selalu mendoakanmu, Nduk. ucap Ibunya. “Nggih, Bu. Matur nuwun”, tidak disangka air mata membanjiri kedua mata Ardhiona. “Kuliah sing bener ya dek, kakak bangga sama Dhion”, tutur kakaknya. “Iya, Mbak. Dhion titip Ibu sama Bapak ya, Mbak”, tangisan Ardhiona semakin pecah. Bagi Ardhiona, perpisahan itu sangatlah berat karena kita harus merelakan hal-hal yang kita sayangi. Mengingat sahabatnya, Hubert yang hingga kini tiada kabar membuat Ardhiona semakin takut akan hal berpisah, baik sementara maupun abadi. Di tengah - tengah isakan tangis keluarga Ardhiona, tiba - tiba instruksi pemberangkatan telah terdengar oleh sepasang telinga mereka.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 08.00, ini waktunya Ardhiona berangkat menuju Amsterdam. Sebelum pesawat berangkat, tak lupa Ardhiona melambaikan tangannya di jendela pesawat, perasaannya campur aduk saat melihat kedua orang tuanya menangis menunjukkan perasaan bangganya terhadap putri bugsunya itu.

Di pesawat, Ardhiona kembali teringat oleh Hubert, ia berpikir bahwa Hubert pasti akan sangat senang dan bangga jika melihat Ardhiona melanjutkan kuliahnya di Amsterdam. Tangisan Ardhiona tak kuasa untuk ditahan, air mata mengalir dengan bebasnya di pipi merah Ardhiona. Pikiran dan perasaannya sangat campur aduk, ia bahkan tak tahu harus bereaksi apa terhadap hidupnya yang ia jalani semenjak Hubert pergi meninggalkannya.

Sesampainya di Amsterdam, suasana hati Ardhiona berubah, karena ia dibuat takjub oleh keindahan kota di negara impiannya itu dan tidak menyangka bahwa dirinya berhasil menapakkan kaki di Amsterdam. Hatinya berdebar - debar, matanya berkaca - kaca, dan pipinya memerah. “Indah”, itulah kata yang terlintas di pikirannya. Ia bergegas mengambil ponselnya dan mengabari kedua orang tua dan sang kakak. “Dhion udah di Amsterdaaammm”, ia tak kuasa menahan tangisannya yang kembali pecah. “Waaahh indah ya Dhion, baik - baik ya disana. Selamat belajar dan menempuh hidup baru, Dek”, tangisan bangga keluarga seorang Ardhiona ikut pecah.

Hari pertama ia kuliah di Amsterdam, Ardhiona merasa bahagia sekaligus gugup. Ia sempat khawatir apakah nantinya akan mendapatkan teman atau tidak, mengingat bahwa dirinya yang tidak suka dan susah bersosialisasi. Setelah sampai di kelas, ia disambut dengan hangat oleh seorang perempuan berambut kecoklatan, “Hallo, mijn naam is Eline.

Wat is je naam?” (Halo, namaku Eline. Siapa namamu?). “Mijn naam is Ardhiona” (Namaku Ardhiona), ucap Ardhiona dengan ramah, ia tak perlu khawatir untuk berkomunikasi dengan orang Belanda, karena ia telah mempelajari bahasa Belanda bersama Hubert. “Ardhiona, wat een mooie naam” (Ardhiona, nama yang cantik), Eline terkagum mendengar nama Ardhiona, baginya nama itu sangat indah dan hampir tidak pernah ditemukan orang yang mempunyai nama seperti itu di Belanda. “Waar kom je vandaan, Ardhiona?” (Darimana asalmu, Ardhiona?), tanya Eline penasaran. “Ik kom uit

Indonesie” (Aku berasal dari Indonesia). “Oh, Indonesie! Salam kenal, terima kasih”, Ardhiona tertawa melihat kelucuan Eline ketika ia mencoba mempraktikkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Ia merasa sangat beruntung bisa mengenal seseorang seperti Eline, yang membuat hari kuliah pertama di Amsterdam berwarna. 

Hari - hari ia jalani seperti biasanya, berangkat kuliah tanpa sarapan, tiada hari tanpa begadang, tiada hari tanpa lupa, dan tiada hari tanpa alarm berbunyi lima belas kali lebih. Ya, sejak terpisah dengan orang tua dan kakaknya, hidup Ardhiona menjadi sangat tidak teratur. Namun, itu semua bukan berarti Ardhiona malas, nyatanya ia selalu begadang karena ingin tugasnya jadi lebih awal dibanding teman - temannya, ia juga selalu mengumpulkan laporannya kepada dosen dengan tepat waktu, bahkan ia membuat deadline tugas dan laporan lebih awal dari deadline yang diberikan oleh dosennya.

Ketika ia sedang menggarap laporannya di perpustakaan kampus, seorang lelaki berbadan tegap duduk berhadapan dengan Ardhiona untuk mengerjakan tugasnya. Awalnya Ardhiona cuek dengan keadaan sekitarnya, namun ketika ia melihat dan memperhatikan lelaki tersebut, ia merasa tidak asing dengan wajah dari lelaki itu. Ia merasa bahwa ia pernah bertemu lelaki itu, tapi ia tak ingat kapan dan dimana ia pernah bertemu dengan lelaki itu. Suasana di antara mereka berdua sangat canggung, keduanya sama - sama sibuk dan tak berani memulai pembicaraan. “Ini anak kok ga asing ya? Apa gue tanya aja? Atau engga usah? Ih tapi kalo ga tanya makin penasaran, tapi kalo tanya... malu”, batin Ardhiona. Saat ia sudah merasa cukup menggarap laporannya, ia bergegas keluar dari perpustakaan  untuk masuk ke kelas berikutnya. Sesampainya di kelas, ia baru menyadari bahwa kacamatanya hilang, “Eh, lu liat kacamata gue ga, El?”, Eline menggeleng “ Engga, gue dari tadi ga liat kacamata”. “Yahh... duh berarti ketinggalan di perpus nih ah”, omel Ardhiona kesal. “Makannya, kalo punya kacamata tuh dijaga jangan dicopat - copot mulu. Kapok kan lo? Hahahahaha”, ejek Eline yang hanya dibalas tatapan sinis oleh Ardhiona. Ia sempat ingin kembali ke perpustakaan untuk mengambil kacamatanya, namun Ms. Doortje sudah masuk ke kelas. Sesudah kelas selesai, ia bergegas kembali ke perpustakaan kampus untuk mengambil kacamatanya yang ia rasa tertinggal di perpustakaan saat ia menggarap laporan tadi. Namun, kacamata yang dicarinya sudah tidak ada, Ardhiona panik karena itu adalah kacamata minus satu - satunya yang ia punya. Sorenya, ia berniat untuk memeriksa matanya dan membeli kacamata yang baru, namun niatnya itu digugurkan oleh hujan lebat di kota Amsterdam, akhirnya ia pun memutuskan untuk membeli kacamata barunya besok setelah kelas pertama selesai.

Esoknya, ia mengikuti kelas pertama dengan kesusahan karena ia tidak  memakai kacamata minusnya. Pandangan dari kursinya ke papan tulis sangat buram, sehingga ia harus pindah ke kursi bagian depan. Setelah kelas pertama berakhir, ia bergegas menuju optik terdekat dari kampusnya, namun betapa terkejutnya ketika Ardhiona menabrak seorang lelaki di koridor kampus. “Ah, maafkan aku, aku ga sengaja”, ucap Ardhiona tidak sengaja menggunakan bahasa Indonesia.” Tidak apa - apa”, Ardhiona terkejut ketika mendengar lelaki tersebut menjawabnya dengan bahasa Indonesia, dan ketika ia melihat wajah lelaki tersebut, ia ingat bahwa lelaki itu adalah lelaki yang duduk berhadapan dengannya di perpustakaan kampus. Mereka pun saling menatap dengan bingung, karena mereka merasa saling tidak asing dengan keduanya. Namun, tatapan kebingungan tadi dibuyarkan oleh Eline yang tiba - tiba menepuk pundak Ardhiona dan mengajaknya ke kantin. “ Hei, ayo ke kantin! Katanya, ada menu baru loh”, ajak Eline. “Tapi, gue mau pergi ke optik dulu, mau beli kacamata baru soalnya yang kemarin ilang di perpus” ucap Ardhiona dengan sedikit kesal. “Ah tunggu, aku nemu kacamata ini waktu di perpus. Kacamata ini yang kamu cari, bukan?”, ucap lelaki tersebut mengembalikan kacamata Ardhiona. “Ah, iya. Benerr!! M - makasih yaa”, ucap Ardhiona dengan perasaan gugup dan lega.

“El, lu tau ga sih? Gue ngerasa ga asing sama laki tadi. Kayak...gue ngerasa gue pernah ketemu tapi gatau dimana”, curhat Ardhiona.

 “Lah? Kan ketemu tadi Dhioon”, Eline tersenyum kecut, 

“Ih ga gitu, El. Pernah ketemu sebelumnya, i mean..sebelum masuk sini”, 

Eline pun tertawa “Ada - ada aja lu”, 

“Serius Eline Patriceeee”, Ardhiona mulai naik darah, 

“Hahahaha, terus kenapa lu ga ajak ngobrol?”

 “Sulit. Dia terlalu cuek buat gue yang suka mewek”. 

“Bisa aja lu”, ucap Eline yang sudah enggan ngobrol dengan sahabatnya yang pikun itu.

Setelah kelas terakhir selesai, Ardhiona pulang ke asramanya bersama Eline.

Sesampainya di kamar, ia merebahkan dirinya di kasur sembari memutar lagu favoritnya, It`s Not Living (If It`s Not With You) - The 1975 ditemani oleh indahnya atmosfer kamarnya (Cuma karena Nebula lamp sih sebenernya hahaha).

And all i do

Is sit and think about you

If knew, what you`d do

Collaps my veins wearing beautiful shoes

It`s not living if it`s not with you

 Pikirannya terus dipenuhi oleh lelaki yang menemukan kacamatanya, karena ia merasa tahu persis dengan wajah lelaki tersebut. Baginya, lelaki tersebut bukanlah lelaki biasa, Ardhiona merasa ada sesuatu yang spesial dengan lelaki itu. Seketika, pikirannya dibubarkan oleh bunyi notif chat dari handphonenya. Tepat dengan dugaannya, Eline lah yang mengechatnya. Awalnya Ardhiona enggan membalas chat tersebut karena sedang asyik dengan dunianya sendiri, tapi apalah daya Eline merupakan satu - satunya orang yang selalu bersama dan membantunya semenjak ia di Amsterdam.  

 

 

            Suatu hari, terdapat acara Fleur Festivavo dan Eline mengajak Ardhiona untuk menemaninya pergi kesana. Sorenya, Ardhiona menuruti permintaan sahabatnya itu. Mereka berjanjian untuk bertemu di Amsterdan Oost pukul 16.00. Tak disangka, sahabatnya itu sudah sampai terlebih dahulu dan ia duduk di bangku yang tersedia disana. “Kebiasaan nih, kalo ada maunya pasti langsung rajin mendadak”, batin Ardhiona.

Setelah sekitar dua jam mereka berkeliling pasar bunga tanpa membeli satupun bunga

dari pasar itu, akhirnya Eline tertarik dengan salah satu bunga yang ia lihat. Ia pun sontak melepaskan gandengan tangan Ardhiona dan bergegas mengunjungi toko bunga tersebut. Ardhiona yang tambah kesal akhirnya pun mengikuti Eline yang berlarian kesana kemari layaknya bocah yang kegirangan melihat mainan impiannya. “Huh.. pelan - pelan dong, El”, ucap Ardhiona terengah - engah. Kekesalan Ardhiona pun semakin menjadi - jadi ketika Eline tidak menggubrisnya dan malah sibuk dengan bunga “dadakan”nya. Ketika Ardhiona melihat sekeliling sembari menunggu Eline membeli bunga yang ia inginkan, Ardhiona melihat Tulip Biru yang terpajang sempurna di toko depan, ia pun bergegas menghampiri toko tersebut dan bertanya kepada penjual bunga tersebut, “Berapa harga tulip biru ini, Pak?”,tanya Ardhiona yang dibalas ramah dengan penjual bunga tersebut “Bunga ini harganya 3,19 Euro”,tutur penjualnya. Ardhiona kembali teringat oleh sahabatnya, Hubert yang selalu memberikan bunga ini sebagai lambang persahabatan. Ketika akan membayar bunga tulip biru tersebut, tak disanga lelaki yang ada di pikirannya tiap malam itu tiba - tiba menghampiri toko bunga yang sama dengan Ardhiona dan sama - sama ingin membeli bunga tulip biru. Hal itupun membuat Ardhiona penasaran, kemudian ia bertanya “Hei, kita ketemu lagi...ngomong - ngomong, buat siapa tulip biru itu?”, tanya Ardhiona penasaran. Laki - laki itu menjawab “Oh, bunga ini untuk seseorang yang spesial, dia sahabatku. Namanya Ardhiona”. Mata Ardhiona seketika terbuka lebar mendengar jawaban laki - laki tersebut “ A - ARE YOU HUBERT?!”. Laki - laki itu pun juga terkaget ketika Ardhiona mengetahui namanya tanpa berkenalan “BENAR!, bagaimana kau bisa mengenalku?”, tanya lelaki itu kebingungan. “THAT’S

ME, ARDHIONA AYU KIRANA, HUBERT”, jawab Ardhiona. “ARDHIONA?!, bagaimana kau bisa ada disini?”, tanya Hubert diiringi rasa bahagianya karena akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan sahabatnya. Mereka bertiga pun lantas mengobrol bersama.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 21.00, akhirnya mereka bertiga pun pulang menuju asrama mereka masing - masing. Keesokan harinya kuliah sudah mulai libur musim dingin, Hubert dan Ardhiona pergi ke sungai Amstel untuk menikmati indahnya sore hari di Amsterdam. Mereka menghabiskan waktu libur bersama. Ardhiona juga sempat menulis sebuah surat untuk dirinya sendiri, bahwa akhirnya ia berhasil menemukan kebahagiaan yang sejati.

Libur kuliah sudah berjalan selama dua minggu, dan di minggu kedua ini mereka berniat untuk pulang ke Indonesia. Tak lupa Ardhiona berpamitan kepada Eline hingga membuat Eline menangis, 

“Eline, minggu ini gue bakal ke Indonesia dan ketemu sama keluarga gue, gue seneng banget!”, Eline kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh temannya itu,

”Hah?! Kenapa tiba - tiba bangettt?!, gue bahkan belum beli apa - apa buat keluarga lo nanti”.

 “Hahahaha, ga usah repot - repot, lagian gue juga belum beli apa - apa”, jawab Ardhiona untuk menenangkan Eline. 

“IH YANG BENER AJA”, Eline merasa tidak enak dengan dengan Ardhiona

“Seriussss gapapa, lo jadi temen gue aja udah berlaku sebagai hadiah buat mereka, El. Gue orangnya jarang sosialisasi soalnya..jadi jarang dekat sama orang asing”. Tutur Ardhiona. “Ih apaan sii hahahaha, yaudah deh kalo gitu gue titip salam ke mereka ya”

“Iya, El. Maacii”

Mereka pun lanjut berbindang bersama hingga larut malam dan menangis bersama.

Hari yang ditunggu telah tiba, hari dimana saatnya Ardhiona akan berangkat ke Indonesia,

ia pun menghubungi Hubert untuk memastikan bahwa sahabatnya itu telah bangun. “Hubert, udah siap belum nih?”, tanya Ardhiona. “Oh iya aku lupa kita ke Indonesia hari ini”, celetus Hubert sembari menahan tawa. “IHHH KO BELUM SIAP?! BURUAN GIHH”, Ardhiona mulai kesal.

“Hahahah udah siap udah, jangan panik gituu dong”, jawab Hubert tertawa. Ardhiona tak menggubris, ia langsung mematikan telefon yang tersambung dengan Hubert.

Setelah sampai di bandara, Ardhiona mengabari Hubert bahwa dirinya telah sampai di Bandara. Beberapa detik setelah pesannya terkirim, seorang lelaki berambut pirang itu menghampiri dirinya. “Hai, udah lama ya?”, tanya Hubert. “Oh haii, belum kok ini juga baru dateng”, jawab Ardhiona. Mereka sempat berbincang bincang sebelum akhirnya terbang ke Indonesia.

Setelah waktunya flight, Ardhiona dan sahabatnya itu langsung menuju pesawat dan duduk bersebelahan. Saat pesawat sudah menunjukkan tanda - tanda keberangkatannya, Ardhiona menghubungi Eline. 

“WOII UDAH DI PESAWAT NIH”, kata Ardhiona

“HAH?! KOK CEPET BANGETTT?!”, jawab Eline kaget, karena ia belum sempat menemui Ardhiona saat di bandara.

“Iya, doain ya semoga safe flight, biar gue bisa beliin lo oleh - oleh”

“Ahahaahah amiin, pasti dongg”

“Yaudah, gue matiin dulu ya. Byeee”

             Di tengah perjalanan, tiba - tiba sirine pesawat berbunyi dan membuat mereka berdua panik. Berbagai instruksi pun telah terdengar, barang - barang mulai berjatuhan, dan para pramugari sudah mulai beraksi. Keadaan di pesawat sudah benar - benar kacau, Ardhiona dan Hubert pun sudah pasrah dengan keadaan, mereka hanya bisa saling bergenggam tangan dan berdoa. Handphone pun sudah tak sempat mereka pegang, hanya ada satu kalimat yang berhasil mereka ucapkan, “We’ll always together Today, Tomorrow, and Forever”. Hanya itu yang berhasil mereka ucapkan sebelum akhirnya pesawat yang mereka tumpangi meledak di udara pada ketinggian 3000 ft. Beribu - ribu kenangan yang telah mereka buat, lenyap begitu saja di tangan sang udara. Tulip biru yang manjadi saksi buta persahabatan mereka, tumbang di atas kenangan yang telah mereka rangkai bersama. Layaknya langit dan laut yang saling melengkapi, namun tak dapat bersatu. Surat yang telah disusun oleh Ardhiona jatuh dengan bebas menuju lautan beribu air mata. Tak ada selamat, tak ada pula kenangan yang kembali terukir. Yang terukir hanyalah sekarang hanyalah gambaran bagaimana hampa dan sunyinya kehidupan Eline yang kini tak lagi dapat curhat dengan teman sebayanya itu, keluarga Ardhiona dan Hubert yang hanya dibanjiri isak tangis kesedihan.

2 : Today, saat mereka berpisah untuk seperkian lamanya.

2 : Tomorrow, saat mereka bisa bertemu kembali dan melanjutkan lukisan indah yang telah mereka        lukis bersama.

4 : Forever, saat mereka me;anjutkan melukis lukisan indah di pangkuan langit, beralaskan lautan.

TAMAT

 

 

 

0 Comments