“Dadaaa”,
itulah kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ardhiona sebelum sahabatnya, Hubert
pergi menghilang meninggalkan Ardhiona. Berkali - kali ia mengirim surat kepada
sahabatnya itu, namun tetap saja tidak ada jawaban darinya. Sejak saat itu,
Ardhiona tak pernah melihat Hubert lagi, entah kemana Hubert pergi, hal yang
paling diingat oleh Ardhiona sebelum Hubert pergi meninggalkannya adalah
sekuncup Tulip Biru yang diberikan Hubert kepada Ardhiona. Ardhiona Ayu Kirana,
itulah nama lengkapnya. Ia merupakan seorang gadis keturunan Jawa yang cantik
dan polos. Ia memiliki rambut pendek yang hitam mengkilap, mata yang lebar, dan
bibir yang tipis. Ardhiona menghabiskan masa kecilnya bersama sahabat londhonya
itu. Hubert Van Holland, adalah sahabat Ardhiona sejak kecil,ia merupakan
seorang laki - laki berambut pirang keturunan Belanda. Namun, persahabatan
mereka tak direstui oleh orang tua Ardhiona, ibu dan bapaknya pernah berkata
“Londho itu kejam dengan bangsa kita, Nduk”. Walaupun begitu, Ardhiona percaya
bahwa tidak semua londho itu kejam. “Londho iku tidak semuanya kejam.”.
Sudah 6 tahun lamanya setelah
Hubert pergi tanpa kabar meninggalkan Ardhiona. Kini, ia sudah lulus SMA dan
menerima beasiswa untuk kuliah di Amsterdam. Ya, negara yang paling Ardhiona
ingin kunjungi. Ia mengambil jurusan Seni. Dirinya tak menyangka bahwa dirinya
biasa sampai ke titik ini. Tepat di tanggal ulang tahunnya, yaitu 1 April 2005
ia berangkat ke Amsterdam diantar oleh kedua orang tuanya dan kakaknya,
Adiningrum. “Hati - hati ya, Nduk. Ibu dan Bapak bangga, Ardhiona bisa kuliah
hingga ke negeri orang. Ibu dan Bapak akan selalu mendoakanmu, Nduk. ucap
Ibunya. “Nggih, Bu. Matur nuwun”, tidak disangka air mata membanjiri kedua mata
Ardhiona. “Kuliah sing bener ya dek, kakak bangga sama Dhion”, tutur kakaknya.
“Iya, Mbak. Dhion titip Ibu sama Bapak ya, Mbak”, tangisan Ardhiona semakin
pecah. Bagi Ardhiona, perpisahan itu sangatlah berat karena kita harus
merelakan hal-hal yang kita sayangi. Mengingat sahabatnya, Hubert yang hingga
kini tiada kabar membuat Ardhiona semakin takut akan hal berpisah, baik sementara
maupun abadi. Di tengah - tengah isakan tangis keluarga Ardhiona, tiba - tiba
instruksi pemberangkatan telah terdengar oleh sepasang telinga mereka.Tak
terasa, jam sudah menunjukkan pukul 08.00, ini waktunya Ardhiona berangkat
menuju Amsterdam. Sebelum pesawat berangkat, tak lupa Ardhiona melambaikan
tangannya di jendela pesawat, perasaannya campur aduk saat melihat kedua orang
tuanya menangis menunjukkan perasaan bangganya terhadap putri bugsunya itu.
Di pesawat, Ardhiona kembali
teringat oleh Hubert, ia berpikir bahwa Hubert pasti akan sangat senang dan
bangga jika melihat Ardhiona melanjutkan kuliahnya di Amsterdam. Tangisan
Ardhiona tak kuasa untuk ditahan, air mata mengalir dengan bebasnya di pipi
merah Ardhiona. Pikiran dan perasaannya sangat campur aduk, ia bahkan tak tahu
harus bereaksi apa terhadap hidupnya yang ia jalani semenjak Hubert pergi
meninggalkannya.
Sesampainya di Amsterdam,
suasana hati Ardhiona berubah, karena ia dibuat takjub oleh keindahan kota di
negara impiannya itu dan tidak menyangka bahwa dirinya berhasil menapakkan kaki
di Amsterdam. Hatinya berdebar - debar, matanya berkaca - kaca, dan pipinya
memerah. “Indah”, itulah kata yang terlintas di pikirannya. Ia bergegas
mengambil ponselnya dan mengabari kedua orang tua dan sang kakak. “Dhion udah
di Amsterdaaammm”, ia tak kuasa menahan tangisannya yang kembali pecah. “Waaahh
indah ya Dhion, baik - baik ya disana. Selamat belajar dan menempuh hidup baru,
Dek”, tangisan bangga keluarga seorang Ardhiona ikut pecah.
Hari pertama ia kuliah di
Amsterdam, Ardhiona merasa bahagia sekaligus gugup. Ia sempat khawatir apakah
nantinya akan mendapatkan teman atau tidak, mengingat bahwa dirinya yang tidak
suka dan susah bersosialisasi. Setelah sampai di kelas, ia disambut dengan
hangat oleh seorang perempuan berambut kecoklatan, “Hallo, mijn naam is Eline.
Wat is je naam?” (Halo, namaku Eline. Siapa namamu?). “Mijn naam is Ardhiona” (Namaku Ardhiona), ucap Ardhiona dengan
ramah, ia tak perlu khawatir untuk berkomunikasi dengan orang Belanda, karena
ia telah mempelajari bahasa Belanda bersama Hubert. “Ardhiona, wat een mooie
naam” (Ardhiona, nama yang cantik), Eline
terkagum mendengar nama Ardhiona, baginya nama itu sangat indah dan hampir
tidak pernah ditemukan orang yang mempunyai nama seperti itu di Belanda. “Waar
kom je vandaan, Ardhiona?” (Darimana
asalmu, Ardhiona?), tanya Eline penasaran. “Ik kom uit
Indonesie” (Aku
berasal dari Indonesia). “Oh, Indonesie! Salam kenal, terima kasih”,
Ardhiona tertawa melihat kelucuan Eline ketika ia mencoba mempraktikkan
beberapa kata dalam bahasa Indonesia. Ia merasa sangat beruntung bisa mengenal
seseorang seperti Eline, yang membuat hari kuliah pertama di Amsterdam
berwarna.
Hari - hari ia jalani seperti
biasanya, berangkat kuliah tanpa sarapan, tiada hari tanpa begadang, tiada hari
tanpa lupa, dan tiada hari tanpa alarm berbunyi lima belas kali lebih. Ya,
sejak terpisah dengan orang tua dan kakaknya, hidup Ardhiona menjadi sangat
tidak teratur. Namun, itu semua bukan berarti Ardhiona malas, nyatanya ia
selalu begadang karena ingin tugasnya jadi lebih awal dibanding teman -
temannya, ia juga selalu mengumpulkan laporannya kepada dosen dengan tepat
waktu, bahkan ia membuat deadline
tugas dan laporan lebih awal dari deadline
yang diberikan oleh dosennya.
Ketika ia sedang menggarap
laporannya di perpustakaan kampus, seorang lelaki berbadan tegap duduk
berhadapan dengan Ardhiona untuk mengerjakan tugasnya. Awalnya Ardhiona cuek
dengan keadaan sekitarnya, namun ketika ia melihat dan memperhatikan lelaki tersebut,
ia merasa tidak asing dengan wajah dari lelaki itu. Ia merasa bahwa ia pernah
bertemu lelaki itu, tapi ia tak ingat kapan dan dimana ia pernah bertemu dengan
lelaki itu. Suasana di antara mereka berdua sangat canggung, keduanya sama -
sama sibuk dan tak berani memulai pembicaraan. “Ini anak kok ga asing ya? Apa
gue tanya aja? Atau engga usah? Ih tapi kalo ga tanya makin penasaran, tapi
kalo tanya... malu”, batin Ardhiona. Saat ia sudah merasa cukup menggarap
laporannya, ia bergegas keluar dari perpustakaan untuk masuk ke kelas berikutnya. Sesampainya
di kelas, ia baru menyadari bahwa kacamatanya hilang, “Eh, lu liat kacamata gue
ga, El?”, Eline menggeleng “ Engga, gue dari tadi ga liat kacamata”. “Yahh...
duh berarti ketinggalan di perpus nih ah”, omel Ardhiona kesal. “Makannya, kalo
punya kacamata tuh dijaga jangan dicopat - copot mulu. Kapok kan lo?
Hahahahaha”, ejek Eline yang hanya dibalas tatapan sinis oleh Ardhiona. Ia
sempat ingin kembali ke perpustakaan untuk mengambil kacamatanya, namun Ms. Doortje
sudah masuk ke kelas. Sesudah kelas selesai, ia bergegas kembali ke
perpustakaan kampus untuk mengambil kacamatanya yang ia rasa tertinggal di
perpustakaan saat ia menggarap laporan tadi. Namun, kacamata yang dicarinya
sudah tidak ada, Ardhiona panik karena itu adalah kacamata minus satu - satunya
yang ia punya. Sorenya, ia berniat untuk memeriksa matanya dan membeli kacamata
yang baru, namun niatnya itu digugurkan oleh hujan lebat di kota Amsterdam,
akhirnya ia pun memutuskan untuk membeli kacamata barunya besok setelah kelas
pertama selesai.
Esoknya, ia mengikuti kelas
pertama dengan kesusahan karena ia tidak
memakai kacamata minusnya. Pandangan dari kursinya ke papan tulis sangat
buram, sehingga ia harus pindah ke kursi bagian depan. Setelah kelas pertama
berakhir, ia bergegas menuju optik terdekat dari kampusnya, namun betapa
terkejutnya ketika Ardhiona menabrak seorang lelaki di koridor kampus. “Ah,
maafkan aku, aku ga sengaja”, ucap Ardhiona tidak sengaja menggunakan bahasa
Indonesia.” Tidak apa - apa”, Ardhiona terkejut ketika mendengar lelaki
tersebut menjawabnya dengan bahasa Indonesia, dan ketika ia melihat wajah
lelaki tersebut, ia ingat bahwa lelaki itu adalah lelaki yang duduk berhadapan
dengannya di perpustakaan kampus. Mereka pun saling menatap dengan bingung,
karena mereka merasa saling tidak asing dengan keduanya. Namun, tatapan
kebingungan tadi dibuyarkan oleh Eline yang tiba - tiba menepuk pundak Ardhiona
dan mengajaknya ke kantin. “ Hei, ayo ke kantin! Katanya, ada menu baru loh”,
ajak Eline. “Tapi, gue mau pergi ke optik dulu, mau beli kacamata baru soalnya
yang kemarin ilang di perpus” ucap Ardhiona dengan sedikit kesal. “Ah tunggu,
aku nemu kacamata ini waktu di perpus. Kacamata ini yang kamu cari, bukan?”,
ucap lelaki tersebut mengembalikan kacamata Ardhiona. “Ah, iya. Benerr!! M -
makasih yaa”, ucap Ardhiona dengan perasaan gugup dan lega.
“El, lu tau ga sih? Gue ngerasa ga
asing sama laki tadi. Kayak...gue ngerasa gue pernah ketemu tapi gatau dimana”,
curhat Ardhiona.
“Lah? Kan ketemu
tadi Dhioon”, Eline tersenyum kecut,
“Ih ga gitu, El. Pernah ketemu sebelumnya, i mean..sebelum
masuk sini”,
Eline pun tertawa “Ada - ada aja lu”,
“Serius Eline Patriceeee”, Ardhiona mulai naik darah,
“Hahahaha, terus kenapa lu ga ajak ngobrol?”
“Sulit. Dia terlalu
cuek buat gue yang suka mewek”.
“Bisa aja lu”, ucap Eline yang sudah enggan ngobrol dengan
sahabatnya yang pikun itu.
Setelah
kelas terakhir selesai, Ardhiona pulang ke asramanya bersama Eline.
Sesampainya di kamar, ia merebahkan dirinya di
kasur sembari memutar lagu favoritnya, It`s Not Living (If It`s Not With You) -
The 1975 ditemani oleh indahnya atmosfer kamarnya (Cuma karena Nebula lamp sih
sebenernya hahaha).
And all i do
Is sit and think about you
If knew, what you`d do
Collaps my veins wearing beautiful shoes
It`s not living if it`s not with you
Pikirannya terus dipenuhi oleh lelaki yang
menemukan kacamatanya, karena ia merasa tahu persis dengan wajah lelaki
tersebut. Baginya, lelaki tersebut bukanlah lelaki biasa, Ardhiona merasa ada
sesuatu yang spesial dengan lelaki itu. Seketika, pikirannya dibubarkan oleh
bunyi notif chat dari handphonenya. Tepat dengan dugaannya, Eline lah yang
mengechatnya. Awalnya Ardhiona enggan membalas chat tersebut karena sedang
asyik dengan dunianya sendiri, tapi apalah daya Eline merupakan satu - satunya
orang yang selalu bersama dan membantunya semenjak ia di Amsterdam.
Suatu
hari, terdapat acara Fleur Festivavo dan Eline mengajak Ardhiona untuk
menemaninya pergi kesana. Sorenya, Ardhiona menuruti permintaan sahabatnya itu.
Mereka berjanjian untuk bertemu di Amsterdan Oost pukul 16.00. Tak disangka,
sahabatnya itu sudah sampai terlebih dahulu dan ia duduk di bangku yang
tersedia disana. “Kebiasaan nih, kalo ada maunya pasti langsung rajin
mendadak”, batin Ardhiona.
Setelah sekitar dua jam mereka berkeliling pasar bunga
tanpa membeli satupun bunga
dari pasar itu, akhirnya Eline tertarik dengan salah
satu bunga yang ia lihat. Ia pun sontak melepaskan gandengan tangan Ardhiona
dan bergegas mengunjungi toko bunga tersebut. Ardhiona yang tambah kesal
akhirnya pun mengikuti Eline yang berlarian kesana kemari layaknya bocah yang
kegirangan melihat mainan impiannya. “Huh.. pelan - pelan dong, El”, ucap
Ardhiona terengah - engah. Kekesalan Ardhiona pun semakin menjadi - jadi ketika
Eline tidak menggubrisnya dan malah sibuk dengan bunga “dadakan”nya. Ketika Ardhiona
melihat sekeliling sembari menunggu Eline membeli bunga yang ia inginkan,
Ardhiona melihat Tulip Biru yang terpajang sempurna di toko depan, ia pun
bergegas menghampiri toko tersebut dan bertanya kepada penjual bunga tersebut,
“Berapa harga tulip biru ini, Pak?”,tanya Ardhiona yang dibalas ramah dengan
penjual bunga tersebut “Bunga ini harganya 3,19 Euro”,tutur penjualnya.
Ardhiona kembali teringat oleh sahabatnya, Hubert yang selalu memberikan bunga
ini sebagai lambang persahabatan. Ketika akan membayar bunga tulip biru
tersebut, tak disanga lelaki yang ada di pikirannya tiap malam itu tiba - tiba
menghampiri toko bunga yang sama dengan Ardhiona dan sama - sama ingin membeli
bunga tulip biru. Hal itupun membuat Ardhiona penasaran, kemudian ia bertanya
“Hei, kita ketemu lagi...ngomong - ngomong, buat siapa tulip biru itu?”, tanya
Ardhiona penasaran. Laki - laki itu menjawab “Oh, bunga ini untuk seseorang
yang spesial, dia sahabatku. Namanya Ardhiona”. Mata Ardhiona seketika terbuka
lebar mendengar jawaban laki - laki tersebut “ A - ARE YOU HUBERT?!”. Laki -
laki itu pun juga terkaget ketika Ardhiona mengetahui namanya tanpa berkenalan
“BENAR!, bagaimana kau bisa mengenalku?”, tanya lelaki itu kebingungan. “THAT’S
ME, ARDHIONA AYU KIRANA, HUBERT”, jawab Ardhiona.
“ARDHIONA?!, bagaimana kau bisa ada disini?”, tanya Hubert diiringi rasa
bahagianya karena akhirnya ia bisa bertemu kembali dengan sahabatnya. Mereka
bertiga pun lantas mengobrol bersama.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul
21.00, akhirnya mereka bertiga pun pulang menuju asrama mereka masing - masing.
Keesokan harinya kuliah sudah mulai libur musim dingin, Hubert dan Ardhiona
pergi ke sungai Amstel untuk menikmati indahnya sore hari di Amsterdam. Mereka
menghabiskan waktu libur bersama. Ardhiona juga sempat menulis sebuah surat
untuk dirinya sendiri, bahwa akhirnya ia berhasil menemukan kebahagiaan yang
sejati.
Libur kuliah sudah berjalan selama dua
minggu, dan di minggu kedua ini mereka berniat untuk pulang ke Indonesia. Tak
lupa Ardhiona berpamitan kepada Eline hingga membuat Eline menangis,
“Eline, minggu ini gue bakal ke Indonesia dan ketemu sama keluarga
gue, gue seneng banget!”, Eline kaget mendengar apa yang baru saja dikatakan
oleh temannya itu,
”Hah?! Kenapa tiba - tiba bangettt?!, gue bahkan belum beli
apa - apa buat keluarga lo nanti”.
“Hahahaha, ga usah
repot - repot, lagian gue juga belum beli apa - apa”, jawab Ardhiona untuk
menenangkan Eline.
“IH YANG BENER AJA”, Eline merasa tidak enak dengan dengan
Ardhiona
“Seriussss gapapa, lo jadi temen gue aja
udah berlaku sebagai hadiah buat mereka, El. Gue orangnya jarang sosialisasi
soalnya..jadi jarang dekat sama orang asing”. Tutur Ardhiona. “Ih apaan sii
hahahaha, yaudah deh kalo gitu gue titip salam ke mereka ya”
“Iya, El. Maacii”
Mereka pun lanjut berbindang bersama hingga larut malam dan
menangis bersama.
Hari
yang ditunggu telah tiba, hari dimana saatnya Ardhiona akan berangkat ke
Indonesia,
ia pun menghubungi Hubert untuk memastikan bahwa sahabatnya
itu telah bangun. “Hubert, udah siap belum nih?”, tanya Ardhiona. “Oh iya aku
lupa kita ke Indonesia hari ini”, celetus Hubert sembari menahan tawa. “IHHH KO
BELUM SIAP?! BURUAN GIHH”, Ardhiona mulai kesal.
“Hahahah udah siap udah, jangan panik gituu dong”, jawab
Hubert tertawa. Ardhiona tak menggubris, ia langsung mematikan telefon yang
tersambung dengan Hubert.
Setelah sampai di bandara, Ardhiona
mengabari Hubert bahwa dirinya telah sampai di Bandara. Beberapa detik setelah
pesannya terkirim, seorang lelaki berambut pirang itu menghampiri dirinya.
“Hai, udah lama ya?”, tanya Hubert. “Oh haii, belum kok ini juga baru dateng”,
jawab Ardhiona. Mereka sempat berbincang bincang sebelum akhirnya terbang ke
Indonesia.
Setelah waktunya flight, Ardhiona dan
sahabatnya itu langsung menuju pesawat dan duduk bersebelahan. Saat pesawat
sudah menunjukkan tanda - tanda keberangkatannya, Ardhiona menghubungi
Eline.
“WOII UDAH DI PESAWAT NIH”, kata Ardhiona
“HAH?! KOK CEPET BANGETTT?!”, jawab Eline kaget, karena ia
belum sempat menemui Ardhiona saat di bandara.
“Iya, doain ya semoga safe flight, biar gue bisa beliin lo
oleh - oleh”
“Ahahaahah amiin, pasti dongg”
“Yaudah, gue matiin dulu ya. Byeee”
Di
tengah perjalanan, tiba - tiba sirine pesawat berbunyi dan membuat mereka
berdua panik. Berbagai instruksi pun telah terdengar, barang - barang mulai
berjatuhan, dan para pramugari sudah mulai beraksi. Keadaan di pesawat sudah
benar - benar kacau, Ardhiona dan Hubert pun sudah pasrah dengan keadaan,
mereka hanya bisa saling bergenggam tangan dan berdoa. Handphone pun sudah tak
sempat mereka pegang, hanya ada satu kalimat yang berhasil mereka ucapkan,
“We’ll always together Today, Tomorrow, and Forever”. Hanya itu yang berhasil mereka
ucapkan sebelum akhirnya pesawat yang mereka tumpangi meledak di udara pada
ketinggian 3000 ft. Beribu - ribu kenangan yang telah mereka buat, lenyap
begitu saja di tangan sang udara. Tulip biru yang manjadi saksi buta
persahabatan mereka, tumbang di atas kenangan yang telah mereka rangkai
bersama. Layaknya langit dan laut yang saling melengkapi, namun tak dapat
bersatu. Surat yang telah disusun oleh Ardhiona jatuh dengan bebas menuju
lautan beribu air mata. Tak ada selamat, tak ada pula kenangan yang kembali
terukir. Yang terukir hanyalah sekarang hanyalah gambaran bagaimana hampa dan
sunyinya kehidupan Eline yang kini tak lagi dapat curhat dengan teman sebayanya
itu, keluarga Ardhiona dan Hubert yang hanya dibanjiri isak tangis kesedihan.
2 : Today, saat mereka berpisah untuk seperkian lamanya.
2 : Tomorrow, saat mereka bisa
bertemu kembali dan melanjutkan lukisan indah yang telah mereka lukis bersama.
4 : Forever, saat mereka me;anjutkan melukis lukisan indah
di pangkuan langit, beralaskan lautan.
TAMAT
0 Comments