Iridescent

 


Pakaian serba hitam membalut tubuhnya siang ini menuju ke rumah duka. Bukan bahagia seperti yang setiap kali ia menginjakkan kakinya di rumah ini, namun kali ini ia datang dengan duka mendalam. Isakan pilu mengiringi langkah Nadine sedari pintu masuk utama. Banyak wajah yang ia kenal maupun tak ia kenal mengekspresikan kedukaan yang sama.

Nadine tak menangis. Ia hanya menatap bingung tubuh yang telah terbujur kaku tersebut. Nadine masih tak percaya, hari ini ia baru saja bertemu dengan Rinai setelah sekian lama tapi kenapa hari ini juga ia harus merasakan kehilangan?

Rinai tadi masih tersenyum tanpa beban bagaimana Nadine bisa mempercayai ini semua? 3 jam lalu Rinai masih baik-baik saja, logikanya masih tak mau percaya bahwa Rinai, sahabat yang selalu berada di sisinya setiap kali ia membutuhkan tak lagi bernyawa. Ini pasti bercanda, semesta pasti sedang bercanda akan hal ini bukan?

Bagaimana mungkin Rinai bisa kecelakaan setelah bertemu dengannya?

“Nadine, aku turut berbela sungkawa atas meninggalnya Rinai ya.” Kata seorang perempuan dengan terisak.

Nadine menatap Caca tak percaya, “Ca? Tadi Rinai masih baik-baik aja. Dia masih sama aku, kita ketawa bareng tadi. Tapi kenapa?”

“Ini memang sudah jalan Rinai, kamu rela in dia ya. Tuhan lebih sayang sama Rinai.” Jawabnya sambil memeluk Nadine yang hanya terdiam tak membalas pelukannya.

Perempuan itu lalu pergi, menyisakan Nadine yang berdiri, kembali menatap kosong tubuh Rinai. Rasanya Nadine ingin mendekati tubuh sahabatnya, memeluknya. Tapi, ia tak sanggup. Ini terlalu sakit untuknya. Ia menyalahkan dirinya sendiri atas meninggalnya Rinai.

Jika saja Nadine tak mengajaknya untuk pergi bersama, jika saja ia mengantar Rinai tadi ketimbang ia menaiki ojek online, jika saja ia mengangkat telepon Rinai setelah kecelakaan tadi nyawanya pasti masih bisa tertolong. Ini semua tak akan terjadi. Ini semua pasti salah dirinya.

Matanya mengedar ke sana kemari, mencari sosok Ibu Rinai. Sesosok wanita paruh baya yang sedang menangis histeris sambil meraung menyebutkan nama anaknya berulang kali. Ternyata, keadaan Ibu Rinai terlihat sangat buruk.

Nadine berjalan kearahnya, “Ibu, Rinai-“ ia tak sanggup menyelesaikan ucapannya, air mata tanpa sadar menetes dari sudut matanya.

Ibu Rinai, Lidya- sontak tambah meraung melihat Nadine berada di depannya. Para keluarga langsung menarik Nadine untuk menjauh sementara.

“Ibu masih enggak rela Kak Rinai pergi.” Ujar Rani, adik satu-satunya Rinai. Nadine mengenalnya, tapi tak terlalu dekat dengannya. Rani juga tampak tak baik-baik saja, rambutnya berantakan, matanya sembab seperti orang yang habis menangis, hidungnya juga merah tersumbat.

“Kakak sahabat Kak Rinai kan?” tanyanya, Nadya mengangguk mengiyakan.

“Aku orang pertama yang ke tempat kejadian Kak Rinai kecelakaan, waktu datang ke sana keadaannya sudah sangat parah. Tapi yang aku heran in, dia tetap senyum sambil berkata ‘Kamu datang Rani’ aku nangis saat itu. Dia kasih pesan sama aku untuk bilang ke salah satu teman Kak Rani yang biasa datang kesini, katanya jangan salah in diri kakak sendiri, ini bukan salah kakak.” Kata Rani, menggenggam erat tangan Nadine yang gemetar dingin.

“Aku enggak menyangka Kak Rinai pergi secepat ini, menyusul ayah.” Tambahnya.

“Aku juga Rani, rasanya ini seperti mimpi.”

“Bahkan sampai hari Kak Rinai pergi, senyumnya tetap sama.”

“Rani- kakak boleh lihat Rinai sebentar?” kata Nadine tercekat.

“Boleh, sini kak.” Rani mengajak Nadine untuk mendekat kearah tubuh Rinai.

Nadine mendekat dengan ragu, Rani membuka kain penutup yang menutupi seluruh tubuh Rinai. Nadine mengusap matanya menghilangkan jejak air mata, ia tak ingin Rinai sedih melihat dirinya yang seperti ini. Nadine menatap sahabatnya lama untuk yang terakhir kali, dan memeluknya.

“Tenang di alam sana Rinai, semoga kamu diberikan tempat yang terbaik oleh tuhan.” Ucapnya lirih, lalu melepas pelukannya.

“Benar Rani, bahkan di saat terakhirnya, kenapa dia bisa senyum setulus itu? Seolah dia tau kapan akan pergi. Rinai benar-benar pergi dengan tenang.”

Rani mengambil kembali kain itu lalu menutupi tubuh Rinai seperti sebelumnya, “Mobil pelaku yang menabrak motor ojek online yang ditumpangi Kak Rinai itu, sedang dicari polisi kak. Dia kabur. Dan drivernya sendiri kritis, masih di Rumah Sakit.”

“Kabarnya, pelaku itu adalah seorang anak berumur di bawah 17 kak, dia mencoba mengendarai mobil untuk yang pertama kalinya.”

Nadine meneguk ludahnya susah payah, “Kakak berharap pelakunya dijatuhkan hukuman yang setimpal, dia sudah membunuh satu nyawa. Walaupun masih di bawah umur, dia seharusnya diberikan pelajaran.”

“Aku harap juga begitu kak, hukum terkadang sangat pemilih ingin berpihak kepada siapa.”





0 Comments